Leye dan Thiwul Singkong
PADA dekade 1950-1980an, leye dan thiwul mudah dijumpai di pasar maupun di warung-warung kecil desa/kampung di Wonosobo. Namun kini, mencari leye dan thiwul, relatif sulit. Justru leye dan thiwul, khususnya jenis instan, mudah ditemukan di toko makanan khas maupun pusat perbelanjaan.
Di awal kemerdekaan sampai dengan 1980an, masyarakat yang tinggal di Wonosobo bagian selatan, meliputi desa-desa di Kecamatan Wadaslintang dan Kaliwiro, terutama ketika memasuki kemarau panjang, banyak yang mengandalkan makanan ini sebagai pengganti nasi beras. Bahkan bila dikonsumsi dalam jangka panjang (bertahun-tahun), bisa menyebabkan kekurangan gizi. Makanya pada masa-masa sulit/paceklik, di wilayah Wonosobo bagian selatan, acapkali dijumpai warga yang kekurangan gizi atau mengidap HO.
Seiring dengan peningkatan kesejahteraan petani, kini warga di kawasan tersebut mengonsumsi nasi beras untuk makanan pokoknya. Warga yang memproduksi leye dan thiwul terus berkurang. Bahkan banyak petani yang tak lagi memahami cara pembuatannya.
Memasuki era milenium, leye dan thiwul tak lagi dianggap sebagai makanan “ndesa” atau menu orang pinggiran. Cara pengolahan pun terus ditingkatkan, sebagian memanfaatkan mesin untuk mempercepat proses produksi. Leye-thiwul pun tak lagi tradisional, tetapi diolah menjadi makanan instan. Lihat saja Ny Sumiyati (46), perajin leye dan thiwul instan Desa Adiwarno Kecamatan Selomerto, ketika ditemui Suara Merdeka di kediamannya, mengaku semula memproduksi makanan berbahan baku singkong guna mengisi waktu luang.
Dia yang berasal dari Desa Grugu, Kecamatan Kaliwiro menyebut, di masa kecilnya, masyarakat Desa Grugu dan sekitarnya banyak yang mengonsumsi makanan ini. Tetapi sekarang ini, lanjut istri Waluyo, di desa asalnya itu makanan tersebut telah ditinggalkan warga. Penduduk setempat mengonsumsi nasi.
Permintaan Besar
Mau uang gratis ? Klik Disini !
Istri Drs Harun Maulana ini menyebut, permintaan pasar terhadap produk KWT Mekar cukup besar. Namun karena keterbatasan tenaga maupun permodalan, maka dengan terpaksa dilakukan secara indent. Produk makanan olahan KWT Mekar telah merambah pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota besar. Kualitas produk sangat dijaga. Rata-rata produk KWT Mekar mampu bertahan sampai beberapa bulan, bahkan untuk leye-thiwul maupun jipang bisa sampai satu tahun.
Mengenai tepung mocal, lanjut Ny Lilik, sebenarnya sudah ada perusahaan besar yang telah menjajagi kerja sama. Perusahaan roti ternama tersebut sudah cocok dengan tepung mocal produksi KWT Mekar. Tetapi pihaknya terbentur pada kapasitas produksi dan permodalan serta peralatan yang representatif, sehingga kerja sama tersebut belum terealisasi.
Selain mempertahankan produk-produk yang sudah ada, KWT Mekar juga berinisiatif melakukan diversifikasi produk. Hal itu untuk memanfaatkan potensi bahan baku yang ada. Khususnya bahan baku serba singkong. Dia optimistis, melalui pemberdayaan masyarakat khususnya di bidang produk makanan khas ini, mampu memberikan nilai tambah bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. Sehingga pada saatnya mereka tak lagi berkeinginan bekerja di sektor non-formal di luar negeri.(Sudarman-28)
Baca juga :